Dari Penetapan Tersangka Hingga Penyegelan Tempat Usaha, Komisi III : Dinas PUPR Jangan Tebang Pilih

LANGITSULTRA.COM | KENDARI – Salah satu pemilik rumah makan (RM) di kawasan Kampung Bakau yang berlokasi di Kelurahan Anduonohu, Kelurahan Poasia, Kota Kendari diadukan ke polisi.

Diketahui, kini Hj. Sitti Hasnia telah menjadi tersangka usai laporan pengaduan yang diajukan Dinas Perumahan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Kota Kendari melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) di Mabes Polri pada tanggal 26 Februari 2021.

Pasalnya, terlapor diduga melanggar tata ruang terhadap kawasan ruang terbuka hijau (RTH), Karena dianggap telah mendirikan sebuah bangunan di atas kawasan yang dilindungi undang-undang.

Bacaan Lainnya

Usai jadi tersangka, tidak berhenti disitu saja, Dinas PUPR Kota Kendari juga menyegel bangunan milik terlapor sejak masuknya aduan ke Mabes Polri.

Merasa ada yang aneh, maka polemik ini kemudian diatensi Komisi III DPRD Kota Kendari, sehingga dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) pada Selasa (28/12/2021).

Dalam RDP tersebut, menghadirkan sejumlah pihak diantaranya Dinas PUPR, tersangka, kuasa hukum tersangka serta koalisi pemerhati hukum dan perempuan (KPHP).

Laode Muhamad Rajab Jinik selaku Ketua Komisi III DPRD Kota Kendari mengatakan bahwa pihaknya sebagai lembaga pengawas pemerintahan begitu mengapresiasi langkah tegas Dinas PUPR dalam menyingkapi pelanggaran tata ruang di Kota Kendari.

“Kita salut dengan semangatnya menjalankan aturan namun tidak bisa ada diskriminatif terhadap pengusaha ketika menjalankan peraturan daerah (Perda) tentang rancangan tata ruang wilayah (RTRW)”, ungkapnya.

Menurutnya, sebanyak 17 pelanggaran tata ruang ada di Kota Kendari, bahkan lebih jika secara keseluruhan ditelusuri.

Dan mestinya jika Dinas PUPR mendapat rekomendasi dari Kementrian ATR, harusnya Dinas PUPR sebagai ujung tombak melakukan eksekusi secara keseluruhan, bukan hanya satu objek saja.

“Ini lucu, yang melaporkan Kementerian ATR. Kenapa saya mengatakan lucu, kok Pemkot Kendari yang harusnya melakukan langkah-langkah sesuai petunjuk Perda didalam proses penyelesaian pelanggaran tata ruang itu tidak dijalankan dengan baik. Makanya kita kaget juga, kalau hari ini ada yang tersangka”, tambahnya.

Sementara itu, Supriadi selaku Kuasa Hukum tersangka mengatakan bila pihaknya begitu menghargai proses hukum yang ada di negara ini. Mestinya, Dinas PUPR Kota Kendari jangan seakan-akan tebang pilih dalam menegakan aturan tata ruang dengan hanya memfokuskan kepada satu orang saja.

Dirinya menyayangkan, pasalnya jika diamati secara seksama bukan hanya pengusaha rumah makan di Kampung Bakau yang melanggar tata ruang Kota Kendari.

“Banyak yang lebih fatal pelanggaran tata ruang di Kota Kendari ini. Pihak DPRD juga demikian mengatakan harus menerapkan tersangka secara keseluruhan. Sebab apa bedanya klien kami dengan yang lainnya”, ucapnya.

Dirinya menjelaskan bahwa apabila mengacu pada undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1960 tentang Hukum Agraria, bahwa kliennya berhak mendirikan suatu bangunan. Sebab dia memiliki bukti pengolahan, walupun belum ada sertifikat.

“Namun, di dalam UU Hukum Agraria jelas diterangkan didalamnya bahwa baik data yuridis dan fisik yang menerangkan batas lahan”, terangnya.

Menurutnya, Data fisiklah yang dinamakan bukti pengolahan, yang kemudian dijadikan dasar untuk pengajuan pembuatan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Diterbitkan dan tidaknya itu hak BPN, namun tidak serta merta menghilangkan hak orang yang sudah bertahun-tahun mengolah lahan itu”, jelasnya.

Lebih lanjut, Pihaknya mempertanyakan kewenangan pemerintah memerintahkan untuk keluar dari hak milik kliennya.

Pasalnya itu sudah bagian dari perampasan sepihak tanpa ada pembebasan dan ganti rugi terlebih dahulu dari pemerintah.

“Ini tidak tegas, mereka juga melakukan tindakan berdasarkan aturan apa. Dan kenapa harus Kementerian ATR yang melaporkan, nah sementara daerah juga bisa menindaki melalui Dinas PUPR”, tambahnya.

Selain itu, pihaknya juga membeberkan bahwa retribusi rumah makan setiap bulannya dibayar oleh kliennya, termaksud kewajiban membayar PBB senilai Rp13 juta pertahun.

Karena ketika pemerintah melakukan penarikan pajak penghasilan dari hasil usaha, itu artinya pemerintah mengetahui jika ada usaha disitu.

“Kan aneh, pemerintah menganggap tempat usahanya ilegal. Tapi disisi lain, pemerintah tetap memerintahkan untuk membayar kewajiban pajak atau iuran bulanan”, tutupnya

Tim Liputan : Faizal Tanjung
Editor : Ewa

Pos terkait