Menyoal Dugaan Mark-up, Begini Penjelasan Kadis Dikbud Sultra

LANGITSULTRA.COM | KENDARI – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menepis terkait adanya dugaan mark-up atau peningkatan harga dalam kegiatan pengadaan wastafel portable, pada tahun anggaran 2020 lalu.

Melalui Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dikbud Sultra, La Ode Fasikin M.Si, yang juga sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pengadaan wastafel portable tahun anggaran 2020.

Dalam rilis dari Dinas Kominfo Sultra, Rabu (1/9/2021). mengatakan bahwa pengadaan wastafel portable tahun 2020 telah selesai dan clear, baik antara Dikbud Sultra, pihak ketiga maupun tim asistensi anggaran yakni diantaranya Kejaksaan, BPKP, Biro Hukum, hingga Inspektorat.

Bacaan Lainnya

“Awal pengajuan harga itu sekitar Rp 7 juta lebih, namun setelah melalui asistensi, rupanya masih ada kemahalan harga. Kemudian dilakukan lah penyesuaian kembali menjadi Rp 6 juta sekian”, ucapnya.

Lebih lanjut, setelah pihaknya melakukan kegiatan, Dikbud Sultra tetap mengikat perjanjian dengan pihak penyedia bahwa jika sewaktu-waktu hasil audit dari tim asistensi masih terdapat kemahalan harga, maka pihak penyedia atau pihak ketiga bersedia melakukan pengembalian.

Meskipun hasil audit menyatakan masih terdapat kemahalan harga terhadap pengadaan 1.000 unit pengadaan wastafel Portable tahun anggaran 2020, namun itu telah clear sebab pihak ketiga atau penyedia telah melakukan pengembalian, sehingga tidak ada mark-up atau korupsi di dalamnya.

“Jadi sejak awal hingga akhir, kami sebagai PPTK terus melakukan asistensi setiap saat. Ini uang negara, kita tidak bisa main-main sebab ada tanggung jawab moril dan mendapatkan pengawasan sejak awal hingga akhir dari tim asistensi ini,” tambahnya.

Meski demikian, Fasikin tidak menyesali adanya kritikan dari pihak tertentu terhadap pengadaan barang jasa tersebut, sebab sebagai abdi negara merupakan salah satu risiko yang harus diterima dan juga sebagai kontrol.

Hanya saja, lanjut dia, sangat disayangkan jika pada era keterbukaan informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat, mengabaikan etika dan norma, dengan langsung menetapkan seseorang atau lembaga melakukan mark-up atau korupsi bahkan melangkahi lembaga-lembaga yang lebih berkompeten melakukan tugas pengawasan maupun audit.

Sementara itu, Kepala Dikbud Sultra, Drs Asrun Lio M.Hum., Ph.D menyambut positif terhadap perhatian dari pihak tertentu terhadap kinerja instansi yang dipimpinnya.

Pasalnya, hal tersebut dianggapnya sebagai wujud cinta serta rasa kepedulian yang tinggi.

“Bahwa mekanisme pengadaan barang dan jasa di masa Pandemi Covid-19 sesuai dengan aturan yang ada, termasuk pengadaan 1.000 unit pengadaan wastafel portable tahun anggaran 2020″, ungkapnya.

Lulusan S3 The Australian National University (ANU) Canberra ini menambahkan, pengelolaan anggaran bersumber dari dana penanggulangan Covid-19 Dikbud Sultra, melalui program pengadaan alat kesehatan seperti alat cuci tangan menggunakan tandon untuk mematuhi protokol kesehatan di area institusi pendidikan.

Hal tersebut mengacu pada surat edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan melakukan pengadaan langsung melalui penyedia dengan harga sementara yang tertuang dalam RKA.

Menurutnya, pengadaan alat cuci tangan menggunakan tandon dilakukan secara transparan dan akuntabel. Sebab, proses pengadaannya melalui beberapa tahapan dan didampingi tim asistensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan pihak terkait.

“Pengelolaan perbendaharaan dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan penuh keterbukaan. Setiap tahapan selalu di asistensi oleh tim APIP yang di dalamnya tergabung dari Kejaksaan, BPKP, Biro Hukum, Inspektorat, dan OPD yang tergabung dalam pengadaan barang dan jasa itu,” jelasnya.

Terkait pengadaan tempat cuci tangan di sekolah, Dikbud telah membuat rencana pembiayaan kegiatan yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dengan nilai satuannya Rp 7,5 juta per unit.

Namun angka tersebut tidak menjadi angka mutlak yang harus dibelanjakan, tetapi ada prosedur yang harus dilalui.

“Rp 7,5 juta di RKA tidak menjadi angka mutlak, tetapi ada prosedurnya. Misal kita harus melalui proses negosiasi dengan penyedia, lalu ada kesepakatan harga sesuai harga real di lapangan. Karena setiap tim dalam tim asistensi mempertanyakan harga sampai satuan terkecil. Misal pihak kejaksaan mempertanyakan bagaimana dengan pengadaan, itu diasistensi oleh tim sampai ada kesepakatan harga kemudian dikontrak”, tegasnya.

Dikatakan, mekanisme pengadaan barang dan jasa berupa alat kesehatan itu agak berbeda dari seperti biasanya. Sebab kontrak diberikan pada pihak ketiga setelah ada kesepakatan negosiasi harga dengan pihak penyedia.

“Kalau di pelelangan kontrak yang biasa itu dilakukan kontrak baru bekerja penyedianya tapi kali ini harus diasistensi dulu. Kontrak terakhir setelah ada kesempatan negosiasi harga dengan pihak penyedia. Jadi kalau tidak ada kesepakatan berarti tidak bisa dapat angka itu, sehingga setelah asistensi didapat harga satuan sampai dengan pajak dan keuntungan pihak ketiga tentunya,” terangnya.

Dia juga menilai bisa menghemat anggaran. Karena dari belanja alat kesehatan berupa alat cuci tangan bisa menyisakan anggaran hingga miliaran rupiah.

“Dari RKA pengadaan alat cuci tangan menggunakan tandon bernilai Rp 7,5 juta, tetapi setelah negosiasi dengan pihak penyedia disepakati Rp 6,325 juta. Jadi ada keuntungan setiap per unitnya dan nilai ini yang kita pertanggung jawabkan,” tegasnya.

“Dengan demikian kita juga dapat menghemat sekitar kurang lebih Rp 1,2 miliar dari rencana semula dan sisa anggaran itu dikembalikan ke kas negara. Tidak seperti pemberitaan selama ini berkembang bahwa kita mempertanggungjawabkan Rp 7,5 juta harga satuannya Rp 6 juta lebih, seolah-olah ada mark-up,” tegasnya.

Ia juga mengaku, banyak melakukan perubahan kegiatan maupun alokasi anggaran di masa pandemi Covid-19. Anggaran dialokasikan untuk mengatasi masalah kesehatan pendidik, tenaga pendidik, dan siswa untuk memenuhi protokol kesehatan di dunia pendidikan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Untuk JPS, pertama diarahkan pada kegiatan pemberian insentif langsung kepada guru, siswa miskin, dan seluruh siswa terkait pembelajaran daring.

Kedua, menyediakan sarana penyediaan masker untuk menjamin siswa melaksanakan proses belajar mengajar terpenuhi standar kesehatannya.

“Setiap pengadaan barang dan jasa Dikbud di setiap tahapannya di asistensi oleh tim APIP”, tutupnya.

Tim Liputan : Langit Sultra
Editor : Faizal Tanjung

Pos terkait