Siapa yang Menciptakan Parlemen Agar Berkualitas?

Selain akan memilih presiden, masyarakat Indonesia akan memilih calon anggota legislatif; baik tingkat DPR RI/DPRD Provinsi dan Kabupaten, maupun DPD. Memilih caleg tidak semudah memilih capres. Soalnya, umumnya pemilih tidak kenal rekam jejak para caleg ketimbang mengenalnya. Apalagi ada empat kartu suara yang harus dicoblos ( DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD). Plus satu kartu suara untuk memilih capres-cawapres.

Pertimbangan untuk memilih calon legislatif (caleg), setidaknya terlebih dahulu kita mempunyai informasi mengenai kualitas parlemen kita periode sebelumnya, tepatnya periode 2014-2019.
Seperti sudah diketahui oleh masyarakat luas, selain tidak memenuhi target dalam program legislasi nasional (prolegnas), masih banyak anggota DPR periode 2014-2019 yang terjerat kasus korupsi. Rendahnya produktivitas dalam pembuatan undang-undang dan maraknya anggota DPR RI diciduk KPK atau kejaksaan, menunjukkan sejauhmana kualitas parlemen kita.

Fungsi parlemen mencakup tiga hal, yaitu membuat undang-undang bersama pemerintah, menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Jika DPR rendah produktivitasnya dalam membuat UU, maka inisiatif pembuatan UU akan didominasi oleh pemerintah. Jika ini yang terjadi, DPR bisa dimaknai tidak memiliki visi dalam menentukan arah masa depan pelaksanaan pembangunan, terutama kaitannya dengan aspirasi masyarakat. Contoh kecil, belum rampungnya RUU KUHP menunjukkan ketidakmampuan parlemen kita dalam mendesain hukum nasional. (Telusuri saja target prolegnas DPR RI periode 2014-2019 berbanding capaian).

Bacaan Lainnya

Kemudian, jika anggota DPR/D banyak terjerat kasus korupsi, maka sekaligus menunjukkan kepada kita, jangankan melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, pihaknya sendiri justru terperosok ke dalam jurang kenistaan. Padahal, kehadiran parlemen justru untuk mencegah pemerintah (eksekutif) terperosok menyalahgunakan kekuasaan.

Foto: Faisal Tanjung – Lokasi : Bantimurung

Lalu, jika anggota parlemen ngotot mengusulkan pembangunan gedung DPR dengan biaya yang fantastis mahalnya, jangankan mampu mengontrol buget dan melakukan efisiensi pembangunan, pihaknya sendiri justru melakukan pemborosan. Ditambah lagi dengan kegemaran studi banding.

Setidaknya, tiga gambaran buruk tadi, itulah yang terjadi pada parlemen kita saat ini. Pertanyaannya, apakah kita sebagai pemilih mau dan ada keinginan mengubah parlemen kita dengan meminimalisir tiga keburukan tadi? Jika pemilih mempunyai komitmen untuk mengubah parlemen menjadi lebih berkualitas, maka inilah saatnya yang harus dilakukan oleh pemilih.

Ada tiga pihak yang berperan dalam merancang parlemen menjadi berkualitas. Pertama, partai Politik. Kedua, Komisi Pemilihan Umum. Ketiga,kita sebagai pemilih.

Partai politik sangat berperan dalam merancang parlemen berkualitas, karena seleksi awal para caleg ada di tangan pimpinan parpol. Jika parpol hanya sekadar mengajukan caleg berbasis popularitas, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di mana parpol marak mengajukan artis, sudah dapat dibayangkan kualitas parlemen kita tak ubahnya seperti salon. Jika parpol mengajukan caleg berbasis intelektualitas, integritas, dan hati nurani, wajah parlemen kita akan lebih berbobot.

KPU juga ikut mewarnai wajah parlemen kita dengan segenap peraturan yang dibuatnya. Dalam pemilu legislatif kali ini, KPU sudah ikut memberi sumbangan yang sangat berati dan sangat berharga, yaitu membuat peraturan yang melarang orang yang pernah dipidana korupsi, narkoba dan seks pada anak untuk menjadi calon legislatif. Peraturan yang sangat progresif ini banyak ditentang bukan saja oleh politikus, tapi juga masyarakat yang mengaku pro-demokrasi, dengan alasan hak asasi manusia. Alasan tersebut hanya melihat demokrasi dari sudut pandang prosedural saja, tanpa melihat substansinya.

Peran terakhir dan yang paling menentukan adalah pemilih. Di tangan pemilih-lah siapa yang akan duduk sebagai anggota legislatif. Apakah dia pelawak, artis, pencari kerja, aktivis jadi-jadian, pengusaha, pensiunan, atau petarung politik sejati yang akan duduk di parlemen.

Jika hanya sekadar artis, pelawak, aktivis jadi-jadian, pengusaha, pensiunan yang sekadar mencari penghasilan dan mencari status sosial, maka wajah parlemen kita tak ubahnya seperti pasar atau supermarket. Tapi jika pejuang politik yang siap bertarung dalam memperjuangkan aspek kehidupan publik, wajah parlemen kita akan tampil sebagai arena pertarungan gagasan dan publik bisa menilai mana gagasan yang terkait dengan kepentingan publik dan mana gagasan yang asal bunyi.

Foto : Faizal Tanjung

Agar pemilih mempunyai bekal dalam menentukan siapa yang layak duduk di parlemen, rekam jejak yang layak diperhatikan adalah:
pertama, sesuai perturan KPU, caleg itu tidak terlibat pidana korupsi, narkoba dan seks pada anak.

Kedua, caleg itu bukan merupakan bagian dari dinasti politik. Sebab bagaimana pun, jika caleg itu bagian dari dinasti politik, maka motivasinya maju ke legislatif sekadar mencari nafkah, status sosial atau manfaat-manfaat ekonomi yang tak ada hubungannya dengan perjuangan politik.

Ketiga, caleg itu bukan orang lama yang pasif, yang hanya duduk dan tertidur di rapat yang sekadar dapat upah.

Keempat, caleg itu tidak sekadar pintar beretorika alias bersilat lidah tapi nihil dalam merealisasikan janji politiknya.

Kelima, caleg itu tidak sekadar mengandalkan popularitas namanya sementara otaknya kosong dan tidak paham jalan perjuangan politik.

Keenam, caleg itu bukan tipe penjilat alias kegemarannya memuji-muji orang yang sedang berkuasa.

Memang sulit mencari caleg ideal, tapi bukan berarti sama sekali tidak ada.*

Oleh : Faizal Tanjung – Pemerhati Pendidikan
Email : [email protected]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.